Nama : Santi Mulyawati
Kelas : XII AP
Sabtu,
12 Juni 2010
TAJUK RENCANA
KOMPAS, Sabtu, 12 Juni 2010 | 04:29 WIB
Sekolah
Berlabel Internasional
Sejenak mari kita belokkan perhatian.
Alih-alih pelengkap keasyikan bergosip video porno, praksis pemerintahan yang
berakhir tanda tanya, dan gegar Piala Dunia 2010.
Lima tahun sudah diselenggarakan
rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) jenjang dasar dan menengah, umum
dan kejuruan. Sudah diperoleh sejumlah sekolah bertaraf internasional (SBI),
sudah pula ada yang didrop dari status RSBI ke status sekolah reguler.
Benar kritik RSBI menciptakan kastanisasi
sekolah. Benar harapan agar RSBI tidak dijadikan merek dagang menjual sekolah.
Kritik dan harapan sebaiknya tidak dianggap sepi, tidak digolongkan ekses.
Membiarkan berarti menaruh pupuk berkembangnya benih kecurigaan.
Rencana evaluasi RSBI hendaknya tidak
selesai dengan membereskan ekses. Tidak hanya menyangkut penarikan dana dan
kriteria penilaian, tetapi juga maksud dasar kebijakan RSBI. Setiap era selalu
ada eksperimen, di antaranya yang serba unggul dengan beragam nama, seperti
sekolah unggulan, pembangunan atau teladan, dan sekarang bertaraf
internasional.
Era globalisasi menjadi batu sendi dan
pemicu kebijakan RSBI. Salah satu cirinya bahasa pengantar Bahasa Inggris.
Muaranya hasil lulusan dan praksis pendidikan setaraf internasional. Syarat terpenting
perbaikan prasarana dan sarana belajar, termasuk faktor guru.
Ujung-ujungnya duit. Perlu droping dana
khusus, seperti tahun 2008-2010 setiap SMP berstatus RSBI Rp 300 juta per tahun
dan setiap SMA RSBI Rp 300 juta-Rp 600 juta. Begitu RSBI dinyatakan SBI, dana
dihentikan. Sekolah dianggap sudah memenuhi empat kriteria: infrastruktur,
guru, kurikulum, dan manajemen.
Sekolah ibarat barang dagangan seiring
dengan pemberlakuan standar tunggal manajemen ISO. Dengan standar itu, tanpa
disadari, bukan juga ekses, tercipta kastanisasi sekolah seperti yang dikritik
kolumnis Darmaningtyas, mulai dari yang internasional hingga pinggiran—bersaing
dengan swasta internasional yang makin bertebaran di kota besar atas nama usaha
bisnis.
Kita tidak ingin terjebak dalam pola
eksperimen masa lalu. Pembukaan UUD 45 mengamanatkan mencerdaskan bangsa.
Mencerdaskan bangsa bukan untuk segelintir warga—yang berkemampuan
finansial—melainkan untuk sebanyak mungkin warga bangsa. Kita dukung kebijakan
mengatasi masalah distribusi guru. Sekadar contoh, meskipun tidak mudah,
kemudahan mutasi guru antarprovinsi setidaknya merupakan terobosan, mengingat
68 persen sekolah di perkotaan kelebihan guru dan 66 persen sekolah di daerah
terpencil kekurangan guru.
Kenyataan hampir 65 tahun merdeka,
tetapi masih jutaan anak bersekolah di bawah cibiran ”kandang ayam”, tentu
lebih perlu prioritas daripada membangun sekolah unggulan bertaraf
internasional. Sekalian mencegah, jangan sampai ”bertaraf internasional”
menjadi sekadar ”bertarif internasional”! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar