Hoaaaammm.. Aku terbangun seiring dengan bunyi alarm. Aku bangun dengan langkah sempoyongan dan bergegas berjalan ke kamar mandi. Hari ini adalah hari pertamaku masuk sekolah ke jenjang berikutnya, SMA, yang berarti menandakan sudah berlalunya proses MOS yang mengerikan itu. Horeee seruku dalam hati. Saking bersemangatnya, aku memakai baju secepat kilat hingga membuat kegaduhan. Tapi karena aku anak tunggal, tidak ada yang mengomeliku karena kegaduhan itu.
Aku bergegas keluar dari kamar dan memakan sarapan ku dengan terburu-buru. Ibu hanya bisa tersenyum sabar melihatku makan yang seperti dikejar monster. Aku bergegas keluar dari rumah dan berlari sekuat tenaga menuju halte yang letaknya lumayan jauh dari rumahku. Tak lama sampai di halte, aku melihat bus yang tujuannya searah dengan sekolahku.
Setibanya di halte dekat sekolah, aku memeriksa jam tanganku yang ternyata masih menunjukkan pukul enam lewat satu menit. Waw pikirku dalam hati pagi sekali. Dari halte ke sekolahku jaraknya hanya sekitar 100 meter. Sekali lagi, aku berjalan dengan langkah yang terburu-buru.
Sesampainya di depan gerbang sekolah baruku itu, aku masih tidak percaya kalau aku dapat bersekolah di sekolah yang terkenal elite ini. Ya tentu saja aku bersekolah di SMA Angkasa yang sangat populer dan elite. Dengan langkah perlahan-lahan, aku mulai memasuki area lapangan sekolah yang luas. Aku berjalan ke arah seorang guru yang tampaknya mengetahui denah kelas-kelas dan bertanya dimana ruangan kelasku dengan muka yang kuharap terlihat sopan. Dengan hati yang deg-degan aku melangkah menuju sebuah kelas yang ditunjuk guru itu. Dengan kepala yang ditundukkan, aku mulai melangkah memasuki kelas. Aku berharap tidak menabrak siapa pun dengan kepala ku yang sedang tertunduk ini. Tetapi, harapanku tidak terkabulkan. Aku menabrak tubuh seseorang, dan orang itu hampir terjatuh kalau dia tidak berpegangan dengan meja terdekat.
“Maaf.. Maaf..”
“Tenang aja. Tidak apa-apa kok,” Orang yang kutabrak itu pun terdiam sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya. “Ehmm.. Haloo nama gue Oci. Lo Ella kan?”, pertanyaannya membuatku melihat ke arahnya sambil menelengkan kepalaku ke kanan. Darimana dia tahu namaku?
Seakan dia dapat mengetahui apa yang berputar di otakku dia menjawab, “Lo gak kenal gue? Gue yang duduk di belakang lo pas MOS kemarin..”
Sesaat aku tertegun, Kenapa gue bisa lupa ya? Ckck, “Oh iya.. Maaf maaf. Saking buru-burunya otak gue jadi nge-blank. Hehe maap yak,” ucapku sambil tersenyum kikuk.
“Udah enggak apa-apa,” Oci terdiam sesaat. “Emmm, lo nanti duduk sebangku sama siapa?”
“Mmm gue belum tau. Gimana kalo kita duduk sebangku aja?” ucapku antusias.
“Ooh oke.” ucapnya girang.
Tidak lama kemudian, bel tanda pelajaran berbunyi. Sebelum guru masuk, aku sempat berkenalan dengan beberapa orang lagi. Di belakangku, duduk Della dan Rere. Di serong kiri depanku, ada Ira. Dan di samping kanan Oci, Melly duduk dengan kepala yang ditopangkan pada tangannya. Kelima orang inilah yang akan selalu menghiasi hari-hariku dengan penuh canda dan tawa. Suka duka pun kita bagi bersama. Kami juga membuat sebuah nama, DOREMI, nama yang diambil dari nama depan kami berenam.
2 tahun kemudian
Hari ini hari yang sama seperti dulu pada pertama kali aku benar-benar belajar di SMA. Tapi bedanya, dulu aku masih kelas 10, dan sekarang aku sudah kelas 12 lho…
Karena kebetulan belum ada guru yang masuk ke kelas, aku berjalan keluar dari kelas menuju depan koridor yang menghadap langsung ke depan lapangan dan gerbang. Saat aku menoleh ke arah kanan, kulihat Giri sedang tersenyum ke arahku, dan tak lama kemudian dia sudah berada di sampingku. Aku yakin sekarang kalian sedang menduga-duga siapa Giri. Akan kuperkenalkan kepada kalian. Dia adalah cowokku. Hehe gak nyangka ya. Aku pun sampai sekarang masih tidak menyangka aku bisa berpacaran dengan cowok seganteng dia.
“Ada apa? Keliatannya kamu lagi bete banget.” tanyanya dengan mata yang mulai menyelidiki gerak-gerikku.
“Emang bete banget, karena di kelas gak ada yang bisa diajak ngobrol. Aku juga belum kenal sama orang-orangnya.” ucapku dengan kepala yang kutopangkan ke tangan.
“Ckckck.. Ella.. Ella.. Kalau kamu bete, kamu tinggal sms aku. Aku nanti bakal dateng ke kelas kamu..”
“Serius?!” ucapku tidak percaya.
Sebelum dia sempat menjawab, dari ujung koridor terdengar suara sepatu yang suaranya terdengar nyaring. Ternyata seorang guru. Sepertinya wali kelasku. Setelah melihat sekilas guru itu, Giri bergegas bangkit dan mengucapkan “sampai jumpa nanti” dengan terburu-buru. Aku juga bangkit berdiri dan bergegas ke kelas.
Aku melewatkan bel istirahat pertama hanya dengan duduk-duduk di kelas sambil menyantap bekal yang kubawa dari rumah. Tidak lama kemudian, Rere, Ira dan Melly datang menghampiriku.
“Eh, lo dah tau belum? Kalo ternyata si Oci juga suka ama Gilang.” ucap Rere dengan mata yang dia belalakkan.
“Seriuuusss? Kok bisa? Bukannya katanya si Oci itu mau jadi mak comblangnya Della? Kok malah dia sih yang jadi suka sama Gilang? Sumpah parah banget. Della udah tau belum, tentang ini?” ucapku panik sambil menatap sahabat-sahabatku satu persatu.
Raut muka Rere mengeras saat mengatakan, “Belum. Tapi usahain jangan sampai dia tahu!”
“Iya betuull.. Jangan sampai Della tau. Bisa berabe nanti.” Ira mengatakannya juga dengan raut muka yang mengeras.
Aku sudah menduga dari awal adanya kemungkinan hal seperti ini terjadi. Waktu itu aku sudah mengatakan keberatanku ke Oci agar dia tidak membantu Della dalam urusan se-sensitive ini. Tetapi Della malah marah padaku karena menurutnya aku iri padanya, dan akhirnya aku lebih memilih diam sambil mengawasi kelanjutan kisahnya yang berkembang sesuai dengan dugaanku.
“Ellaaa…jangan bengong dong.. Lo setuju gak?” ucap Rere jengkel.
“Hah? Setuju apaan?” aku bingung karena raut wajah sahabat-sahabatku itu seperti siap membunuhku seketika itu juga.
“Aduuh… lo kebanyakan mikirin Giri sih,” Melly geleng-geleng kepala sambil menatapku. “Gini deh gue jelasin dari awal.” Melly terdiam lagi untuk merangkai kata-kata yang akan cepat untuk langsung kupahami. “Gue ngusul gimana kalau gue, lo sama Rere bicara sama Oci nanti pas istirahat kedua. Pas lagi kayak gitu, si Ira ngajak Della kemana kek untuk ngalihin pikiran Della aja dari kita. Gimana? Lo setuju apa kagak?”
Aku berfikir sesaat sebelum menjawab dengan tegas, “Oke gue setuju!”
Bel tanda berakhirnya jam istirahat berbunyi.
“Ingat, La. Jangan ampe lupa.” tegas Rere dan Melly hampir berbarengan.
“Gak bakal lah gue lupa.” ucapku dengan muka cemberut.
Setelah mereka mendapat persetujuanku, mereka beranjak pergi ke kelas masing-masing. Sepertinya hari ini dan seterusnya, bakalan menjadi hari yang panjang dan melelahkan deh, ucapku dalam hati sambil menutup mata untuk menenangkan hati dan pikiranku, walaupun hanya untuk sesaat.
Rencana berjalan dengan mulus. Sukses. Della sama sekali tidak tau kalau sebenarnya kita sedang berbicara serius. Karena beberapa menit sebelum Della datang, ada kejadian lucu yang membuat kami tertawa terpingkal-pingkal.
Sebelum memulai rencana, aku sudah melihat dari jauh Giri sedang berjalan menghampiriku. Tetapi aku hanya dapat menggelengkan kepala. Dia mengerti isyaratku dan berjalan ke arah sebaliknya. Aku tidak mau Giri tau apa yang sedang terjadi. Tapi kalau waktunya sudah tepat aku berjanji pada diriku sendiri untuk mengatakannya padanya.
Tapi, tidak semudah itu untuk berbicara dengan Oci. Dia benar-benar keras kepala. Saat kami memperingatinya betapa seorang sahabat itu sungguh berarti dan jangan sampai kehilangan orang itu, dia malah berkata, “Bukan salah gue dong, Gilang lebih milih gue. Gilang juga cerita sama gue betapa gak sukanya dia sama Della. Jadi bukan salah gue kan?” dia berkata seperti itu dengan ekspresi tidak peduli.
Sebenarnya perkataannya ada benarnya juga. Tapi kata-kata itu cocoknya diucapkan untuk orang yang gak dia kenal dekat, bukan untuk sahabatnya. Aku malah jadi bingung sendiri.
Sepulang sekolah, aku meminta maaf kepada sahabat-sahabatku itu karena tidak bisa pulang bersama. Ya karena hari itu aku ada les, dan sebelum les Giri mau mengajakku ke sebuah tempat. Dan untuk sementara waktu kusingkirkan persoalan Oci dan Della.
September 2006
Sudah dua bulan berlalu sejak aku, Rere dan Melly berusaha berbicara sama Oci. Tetapi sepertinya hubungan Oci-Gilang semakin dekat saja. Dan dari cerita yang kudengar dari Melly, mereka berdua sudah sering jalan bareng berdua. Kuakui Gilang sebenarnya orangnya asyik dan baik, pasti itu alasan mengapa Oci bisa jatuh cinta juga sama Gilang. Tapi sumpah, aku gak tau kalau aku jadi Della gimana. Pasti sakit banget dikhianati sahabat yang sudah kita percayai.
Aku sudah bercerita tentang kejadian semua ini ke Giri, tepat sebulan yang lalu. “Sebaiknya kamu dan teman-teman kamu itu memberi tahu Della secepat mungkin. Karena biasanya semakin lama dia tidak mengetahui hal itu, hatinya akan semakin sakit lagi. Jadi sebaiknya kamu beritahu dia sekarang, biar dia dapat mempersiapkan dirinya sendiri.” kata Giri waktu itu.
Tetapi setiap kali aku ingin bilang ke Della hal yang sebenarnya sedang terjadi, mulutku malah menjadi kaku. Rere, Melly, Ira, dan aku juga jarang membicarakan hal ini, karena takut tercuri dengar sama Della. Jadinya kami hanya dapat mengamati dari jauh saja.
Sekarang bulan September dan sebentar lagi ulang tahun Della. Pada hari Minggu tepat dua hari sebelum Della berulang tahun, aku dan Rere double date sambil membeli hadiah buat Della. Tetapi kami makan di tempat yang berbeda. Karena Rere dan Indra mau makan di Hoka-Hoka Bento yang kebetulan aku dan Giri tidak menyukai makanan yang disajikan di tempat itu, jadilah kami berpisah.
Saat kami berpisah, aku dan Giri bertemu Oci dan Gilang sedang jalan sambil tertawa-tawa. Dari bahasa tubuh mereka, mereka mirip sekali dengan sepasang kekasih yang lagi kasmaran. Lagi-lagi setelah melihat hal ini aku jadi teringat pada Della. Seketika itu juga nafsu makanku langsung menghilang. Giri yang melihat kejadian itu juga, tidak berkata apa-apa saat aku menariknya ke toko boneka yang jaraknya tidak jauh dari tempatku berdiri.
Aku memilih salah satu boneka untuk kado buat Della dan bergegas membayarnya di kasir. Aku juga membatalkan kegiatan yang akan kami lakukan pada hari itu. Sebelum aku dan Giri pergi, aku meminta maaf sama Rere dan Indra karena aku dan Giri tidak dapat meneruskan jalan sama mereka berdua. Indra yang periang itu terlihat kecewa karena orangnya berkurang. Tetapi Rere dengan bijaksana memberikan alasan kalau aku sedang sakit, tidak enak badan. Dan Indra dapat memahaminya dan mendoakan aku cepat sembuh.
Giri membawaku ke tempat makan yang biasa kami kunjungi. Para pelayannya pun hafal sama kami. Apalagi menu yang biasanya kami pesan selalu sama. Tempat makan itu juga nyaman dan tenang, sehingga aku dapat menetralkan perasaanku dan otakku yang dari tadi terus bekerja tiada henti.
“Sudah tenang?” Giri bertanya dengan suara prihatin.
Aku mengangguk, “Makasih ya, Gir. Kalau gak ada kamu, mungkin aku sudah melakukan hal bodoh di depan Rere dan Indra.”
“Iya.. Iya..” ujar Giri gemas sambil mengusap-usap rambutku. “Nah makanannya udah dateng. Sebaiknya kita makan. Mumpung masih hangat.” Pelayan datang membawa pesanan kami. Dan dia mendorong nasi goreng yang kupesan ke arahku.
Aku pun makan dengan lahap. Di dalam hati aku berdoa, apabila suatu saat nanti rahasia ini terbongkar, semoga Della masih tetap dapat menjadi Della yang sekarang.
5 September 2006
Ulang tahun Della. Walaupun hari sekolah, aku tetap memberi kado yang kubeli pada hari Minggu itu kepada Della. Setelah memberi kado itu kepada Della, Rere berbisik padaku untuk mengikutinya ke kamar mandi.
“La, lo tau kemaren si Risma ngeliat Oci sama Gilang jalan berdua. Dan parahnya lagi si Risma udah ngasih tau itu ke Della. Gimana ini?” tanya Rere kepadaku dengan muka putus asa.
Sebelum aku sempat menjawab, pintu kamar mandi terbuka dan Melly masuk dengan muka panik.
“Kalian tau?! Si Gilang baru aja nembak Oci tadi di depan anak-anak.”
Mendengar itu, mukaku dan Rere memucat.
“Lo serius Mel?” masih tidak percaya atas informasi yang disampaikan Melly. “Lo gak lagi becanda kan?”
Melly berkata dengan muka putus asa, “Ellaaa… Gak mungkin gue becanda pas lagi kayak begini.”
Sebelum otakku dan sahabat-sahabatku itu mencerna dengan baik, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka lagi. Kali ini yang masuk Ira dengan muka yang sama pucatnya dengan kami.
“Lo, lo pada ada yang ngeliat Della gak?”
“Enggak, Ra. Emang kenapa?” ucap Melly bingung.
“Pas Della tau, Oci sama Gilang jadian, dia langsung kabur entah kemana.” ucap Ira panik.
“Gue tau dia dimana. Biar gue yang kesana.” kata Rere tiba-tiba.
“Lo yakin tau dimana Della sekarang?” tanyaku untuk memastikan.
“Seratus persen gue yakin.” tangan Rere mengepal saat dia berkata seperti itu.
“Oke.. Oke.. Gue yakin ama lo, Re”
Dan Rere pun pergi untuk menyusul Della.
Desember 2009
Sejak saat itu, Della dan Oci saling bermusuhan. Hingga akhirnya mereka mengakhiri hubungan persahabatan mereka. Mereka tidak bisa jadi seperti dulu lagi. Dan semenjak itu juga DOREMI pecah. Kuakui sampai sekarang hubunganku dengan Rere dan Melly tidak pernah terputus, karena kami masih sering pergi shopping bareng atau sekedar ke salon bareng. Sedangkan dari informasi yang kudengar, Oci pindah ke Amerika saat kuliah S1 nya disini selesai, tetapi hubungannya dengan Gilang tetap lanjut. Ira mendapat beasiswa untuk kuliah di Melbourne. Dan Della, kata Rere, dia sudah mendapatkan seseorang yang dapat mendampinginya. Dia kuliah di UI, tetapi beda jurusan denganku yang mengambil jurusan Kedokteran, sehingga aku jarang bertemu dengannya. Hubungan Rere dan Indra pun lancar-lancar saja.
Sedangkan hubunganku dengan Giri…
Kami sempat bertengkar karena perbedaan pendapat. Tapi kami balikkan lagi, karena kami berdua sama-sama tidak tahan untuk marahan lama. Setelah menyelesaikan S1 ku disini, aku pergi menyusul Giri yang sedang kuliah jurusan musik di Harvard.
Dan pada akhirnya seperti inilah DOREMI, terpecah belah. Menurut kalian, apabila kalian mendapat kejadian yang sama dengan yang dialami sahabatku, kalian akan memilih yang mana? Cinta atau Persahabatan?
Facebook : Shanty Mulyawatii dan Shanty Juli Mulyawati Part III
Twitter :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar